Apa kesan anda tentang blog ini ?

Selasa, 05 Januari 2016

wonderful Place :)


Indahnya Kaliurang

Pada awal abad ke-19, sejumlah ahli geologi Belanda yang tinggal di Yogyakarta, bermaksud mencari tempat peristirahatan bagi keluarganya. Mereka menyusuri kawasan utara yang merupakan dataran tinggi. Sesampainya di Kaliurang yang berada di ketinggian 900 meter dari permukaan laut, para "meneer" tersebut terpesona dengan keindahan dan kesejukan alam di kaki gunung itu. Mereka akhirnya membangun bungalow-bungalow dan memutuskan kawasan itu sebagai tempat peristirahatan mereka.
Perjalanan menuju kaliurang dari arah Jogja akan mengingatkan kita pada lukisan pemandangan saat masih di taman kanak-kanak. Sebuah gunung dengan jalan di tengahnya serta hamparan hijau yang membentang di kedua sisinya dihiasi dengan rumah penduduk, akan menghilangkan penat dalam bingkai lukisan alam.
Diselimuti angin yang berhembus sejuk, bahkan di saat mentari tepat di atas kepala, kesejukan itu masih terasa. Udara yang menari melewati pepohonan dan turun dengan gemulai, memberi rasa segar ketika menerpa tubuh.
Pemandangan Gunung Merapi memberi sensasi tersendiri di kawasan ini. Bagaikan seorang gadis desa yang menutup tabirnya bila sengaja diperhatikan, gunung ini akan tertutup kabut seolah malu bila sengaja datang untuk melihatnya.
Menyusur sisi barat Bukit Plawangan sejauh 1100 meter, menempuh perjalanan lintas alam, melalui jalan tanah yang diapit pepohonan dan lereng rimbun, deretan 22 gua peninggalan Jepang menjadi salah satu keunikan wisata alam Kaliurang.
Di samping keindahan alamnya, Kaliurang juga mempunyai beberapa bangunan peninggalan sejarah. Diantaranya adalah Wisma Kaliurang dan Pesangrahan Dalem Ngeksigondo milik Kraton yang pernah dipakai sebagai tempat berlangsungnya Komisi Tiga Negara. Atau Museum Ullen Sentalu yang sebagian bangunannya berada di bawah tanah. Museum ini menguak misteri kebudayaan dan nilai-nilai sejarah Jawa, terutama yang berhubungan dengan putri Kraton Yogyakarta dan Surakarta pada abad ke-19.

Senin, 04 Januari 2016

Blue Lagoon Sleman


Sudah sejak berpuluh-puluh tahun silam, warga Desa Dalem, Widodomartani hidup berkelimpahan air. Tiga buah mata air yang tak pernah kering menjadi tumpuan hidup mereka, Sendang Wadon (putri), Belik Kluwih dan Sendang Lanang (putra). Ketiga sendang tersebut berada di daerah aliran Kali Tepus. Sendang Wadon yang merupakan tempat pemandian para wanita, berada di dalam sebuah bilik dan berupa kolam kecil. Sementara itu, Belik Kluwih dan Sendang Lanang hadir dalam bentuk pancuran dengan air yang berasal dari dinding tepi kali. Air Belik Kluwih berkumpul dan membentuk sebuah kedung, sementara itu Sendang Lanang membentuk kolam kecil. Kedung inilah yang akhirnya dijuluki sebagai Blue Lagoon.
Sebetulnya, nama resmi pemandian ini adalah Pemandian Tirta Budi. Namun, anak-anak muda sudah terlanjur mengenalnya dengan nama Blue Lagoon lantaran airnya yang jernih dan biru. Meskipun mungil dan jauh berbeda dengan Blue Lagoon yang ada di Iceland, pemandian ini tetap saja unik dan mampu menarik perhatian banyak orang. Sehingga tak heran bila pemandian ini jadi kondang seantero Jogja dan ramai dikunjungi terutama ketika akhir pekan dan hari libur.
Untuk mencapai Pemandian Tirta Budi ini tidaklah sulit. Jika kita datang dari arah Jogja kota, langsung saja arahkan kendaraan ke Jalan Kaliurang. Sesampainya di kilometer 13, kita akan menemukan pertigaan Jalan Raya Besi-Jangkang di sebelah kanan jalan. Belok dan ikuti saja jalan raya ini hingga sampai di Pasar Jangkang. Dari pertigaan Pasar Jangkang, ambil arah kanan sekitar 100 meter dan ikuti petunjuk arahnya. Maka kita akan sampai di Blue Lagoon ini.

Gudeg Khas Yogyakarta

Gudeg adalah makanan daerah Yogyakarta dan Jawa tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Ada berbagai varian gudeg, antara lain: * Gudeg kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan padang. * Gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer. * Gudeg Solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih. ( wikipedia.org/wiki/gudeg ) Makanan yang satu ini tidak luput dari ciri khas kota YOgyakarta sebagai kota Gudeg, karena hampir di setiap sudut kota Yogyakarta pada malam atau pagi hari banyak orang berjualan gudeg. Ada beberapa Gudeg yang bisa menjadi referensi anda untuk makan malam. Gudeg Bu Citro terletak dekat dengan Bandara Internasional Adisucipto. Gudeg wijilan letaknya dekat plengkung Gading Alun Alun Utara Kraton Yogyakarta, disini banyak berjejer warung gudeg yang semua rata rata rame pengunjung. Gudeg Batas Kota, biasanya buka mulai jam 9 malam sampai dini hari. Gudeg Jl Solo kebanyakan buka saat toko toko sudah tutup, terletak sepanjang Jl urip Sumoharjo. Gudeg Permata, terletak dekat jembatan Sayidan biasa buka di waktu sore sampai dini hari.

Minggu, 03 Januari 2016

Kebudayaan Merti Desa


Pernah mendengar kata merti desa? Suatu upacara adat yang mungkin tak asing bagi kita. Dimana Tradisi yang untuk saat ini masih terus lestari tak hanya menentramkan hati, namun juga memberikan kebanggaan atas ragam kekayaan budaya di negeri ini. Sebuah tradisi yang perlu dilestarikan, larena semakin kekinian, tradisi ini mulai di tinggalkan, acara ini masih tetap berlangsung, walaupuntidak banyak lagi yang melakukannya, khususnya di seputar Yogyakarta. Merti desa, sering disebut juga bersih desa, hakikatnya adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Bahkan orang Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun, masih banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Di samping itu, rasa syukur juga bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa. Merti desa biasanya dilakukan pada bulan bulan tertentu, dalamm kalender jawa. Di dusun Jetis, Sidoagung, Godean, Sleman belum lama ini, tepatnya tanggal 27 Desember 2013 mengadakan Merti Desa. Yang di ikuti oleh seluruh warga di dusun Jetis. Baik muda ataupun yang sudah berumur. Dalam Meti Desa peran masyarakat dalam partisipasinya sangat menentukan proses dan kelestarian budaya ini. Karena secara langsung mereka melakukan kontak langsung dengan melaksanakan merti desa. Acara dalam merti desa antara lain adanya arak-arakan yang akan diikuti oleh masyarakat. Ini adalh acara yangt sangat di tunggu oleh masyarakat sekitar. Dimana semua lapisan masyarakat menjadi satu, bermpadu dalam satu rombongan. Berjalan hingga sejauh 5 km. Dari padukuhan Jetis ke kecamatan Godean. Dalam rombongan arak-arakan ini terdapat macam-macam oragan, atau segmen. Ada penari jaipong, buto, pembawa patung raksasa, gunungan, petani-petani, serta rombongan anak-anak dari TK Nurul Iman yang berlokasi di dusun Jetis. Makna dari merti desa yang di lakukan di padukuhan jetis ini menurut Bapak Sumarjono, S.H selaku kepala desa Sidoagung yaitu ungkapan rasa syukur, ungkapan pengharapan, dan ungkapan persaudaraan. Dimana rasa syukur itu di tujukan kepada Tuhan YME, yang telah memberikan begitu banyak limpahan rejeki selama tahun 2013 ini. Ungkapan pengharapan yang tersirat dalam kegiatan Budaya ini yaitu akan adanya kebaikan yang lebih di waktu-waktu mendatang dan perginya hal-hal buruk yang masih menaungi masyarakat dusun jetis ini, yang di simbolkan patung buto ijo. Lalu ungkapan persaudaraan yang di maksudkan oleh masyarakat jetis yaitu adanya gotong royong, saling toleran, guyup rukun antar masyarakat dusun jetis sendiri. Acara merti desa ini mempunyai beberapa tahap. Yang pertama iyalah pengumpulan makanan berupa sego gurih yang di kumpulkan di dalam masjid. Lalu oleh pemuka adat setempat di-doani , lalu di bawa dengan menggunakan tandu yang terbuat dari bambu dan berhiaskan daun kelapa muda atau janur. Lalu diarak menuju kecamatan Godean bersama dengan arak-arakan yajng lain. Seperti buto ijo, dan gunungan. Arak-arakan sepanjang 100 meter, yang di ikuti oleh ±225 warga menjadi sebuah tonotnan tersendiri. Suara gamelan, alat musik tradisionalm drumband, menjadi sangat indah dan menymbolkan banyaknya kebudayaan di Indonesia. Di pengujung acara, sedekah yang diujudkan dalam bentuk gunungan berikut sesajian dan beragam ubo rampe itu akan dibagikan kepada seluruh warga desa serta siapa pun yang hadir. Kadang, prosesi pembagian sedekah ini sengaja dilakukan dengan cara diperebutkan, sehingga menghadirkan atraksi yang begitu meriah sebagaimana yang berlangsung dalam Upacara Garebeg. Lalu pada malam harinya diadakan tonotnan wayang untuk dinikmati warga dusun jetis dan sekitarnya, bertempat di depan rumah perangkat desa setempat (Dukuh). Selama satu malam suntuk. Acara ini bukan hanya sebagai simbolisasi tradisi, melainkan pengenalan budaya kepada masyarakat dan anak muda. Sehingga kebudayaan ini tetap lestari dan tetao menjadi bagian dari kebudayaan nasional (Bapak sumardjo, wawancara ketua panitia merti desa jetis, 27 desember 2013 pukul 20:10). Selain untuk pengenalan, acara merti desa seperti ini juga bermanfaat bagi warga itu sendiri, dengan adanya wayangan maka akan ada masyarakat dusun sekitar yang ikut menonton, sehingga bisa membuka lapangan bisnis untuk warga itu sendiri. Selain menjadi perujudan rasa syukur, upacara merti desa acapkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur, sehingga menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya. Semuanya dilakukan dengan tetap memanjatkan doa dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga desa. Silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa selira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa. Hendaknya sangat perlu bagi kita sebagai generasi yang sekarang sudah mulai mapan, untuk tetap melangsungkan adat dan istiadat nenek moyang kita, dengan prespektif tetap menyembah dan meminta kepada-Nya. Karena jika kita tidak mulai menahan, memperkuat kebuadayaan kita sendiri, maka lambat laun tidak ada lagi upacara adat yang bernama Merti Desa.

Gunungan Yogyakarta


Grebeg Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah simbol kekucah dalem, ini tentang simbol kemurahan hati raja kepada kawulanya atau warganya. Sultan digambarkan sebagai sosok yang mengayomi, mengayemi, dan mengenyangkan para kawulanya. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Upacara Grebeg dalam setahun diadakan tiga kali: Grebeg Syawal sebagai ungkapan syukur telah melewati bulan puasa ramadhan; Grebeg Maulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW; dan Grebeg Besar untuk merayakan Idul Adha.
Upacara Grebeg identik dengan Gunungan terdiri dari berbagai makanan dan hasil bumi yang disusun menyerupai gunung, sebagai simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta. Gunungan ini nantinya akan dibagikan kepada masyarakat. Ada enam jenis gunungan, masing-masing memiliki bentuk dan rangkaian janis makanan yang berbeda pula.
gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar dan di sekelilingnya ditancapi kue ketan yang berbentuk lidah. Kedua Gunungan Gepak: gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan lima macam warna: merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Ketiga Gunungan Bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang pada bagian puncak diberi lubang untuk tempat anglo atau tungku berisi bara membakar kemenyan. Keempat Gunungan Lanang terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, ketan, dan pada bagian puncak ditancapi kue dari tepung beras. Kelima Gunungan Wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan. Keenam Gunungan Pawuhanmerupakan gunungan yang bentuknya mirip gunungan wadon, hanya pada bagian puncak ditancapi bendera kecil berwarna putih.

kebudayaan "Mbah Demang"


Modinan termasuk salah satu dusun yang ada di Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman. Sedangkan letak Desa Banyuraden ini sekitar lima kilometer ke arah barat dari Kota Jogja. Sarana transportasi, komunikasi, dan pendidikan di Desa Banyuraden telah memadai. Sebagai wilayah yang terletak di pinggiran kota (sub-urban), kebanyakan mata pencaharian penduduk Desa Banyuraden adalah petani, atau buruh tani.
Di Dusun Modinan sendiri terdapat sebuah upacara adat yang dikenal dengan sebutan "Suran Mbah Demang". Upacara ini diberi nama sesuai dengan nama tokoh penting dalam kehidupan masyarakat setempat dan bersangkutan juga dengan bulan Sura dalam kalender Jawa. Upacara ini diadakan oleh masyarakat Dusun Modinan untuk mengenang perjuangan hidup Ki Demang Cakradikrama, seorang demang-pabrik.
Ki Demang Cakradikrama adalah seorang demang yang gentur tapane (besar laku prihatinnya), memiliki kharisma yang tinggi, disegani dan dihormati oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Salah satu bentuk laku prihatin yang dijalaninya adalah mandi hanya setiap satu tahun sekali yaitu pada tanggal 7 Sura tengah malam. Sisa air mandi Ki Demang tersebut diambil oleh anak cucu dan sanak saudara untuk ngalap berkah. Sampai sekarang, tradisi ini masih tetap dilestarikan dan banyak warga masyarakat yang ikut ngalap berkah dengan mengambil air dari sumber air yang sama dengan yang dahulu dipakai mandi oleh Ki Demang Cakradikrama.
Ki Demang adalah seorang anak dari bekel Cakrajaya. Nama kecil dari Ki Demang adalah Asrah dan dikenal sangat nakal. Oleh ayahnya, Asrah dititipkan pada Demang Dowangan yang memberinya tugas angon bebek dan mencari satu ikat kayu bakar setiap harinya. Pada usia akhil balik, Asrah bertapa di rumah penatu selama sebulan. Ketika bertapanya mencapai sebulan, banyak orang mengira Asrah sudah meninggal di tempat pertapaan. Kemudian mulut Asrah ditetesi dengan cairan kanji, dan cairan kanji itu oleh Asrah diminum, dan ternyata Asrah memang masih hidup.
Sementara itu dalam pertapaannya Asrah bermimpi bertemu dengan dua orang yang berpakaian seperti haji dan orang tersebut memberi kitab kecil. Setelah selesai bertapanya, Asrah mencari kitab tersebut dan ditemukannya di sungai Bedog. Asrah menjadi orang yang sakti, dapat menyeberang sungai Bedog yang sedang banjir, dan bahkan mampu menghalau para penjahat yang sering merusak perkebunan milik Belanda.
Awalnya dari sayembara di daerah Dowangan untuk memberantas kejahatan di sekitar Kali Bedog dan Kali Bayem dan pemenangnya akan dijadikan mandor perkebunan. Asrah merasa tertantang walaupun banyak orang yang meragukan. Karena berhasil, Asrah diangkat menjadi mandor perkebunan. Pada suatu kemarau panjang, banyak perkebunan tebu di daerah Demakijo menjadi kering. Atas permintaan pemilik pabrik gula dalam sayembara, Asrah menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit di tengah lapangan dan memohon kepada Yang Maha Agung untuk memberikan air bagi para petani yang kelaparan dan untuk memenangkan sayembara. Pada saat bagian "gara-gara", terjadi hujan deras selama tiga hari tiga malam sehingga daerah yang semula kering menjadi berkelimpahan air, dan tanaman tebu menjadi tumbuh lagi. Akhirnya Asrah diangkat menjadi demang pabrik yang tugasnya mengawasi perkebunan milik pabrik gula di daerah Demakijo.
Setelah menjadi demang, Asrah berganti nama menjadi Cakradikrama yang dikenal dengan sebutan Ki Demang Cakradikrama. Semua keberhasilan Ki Demang tersebut berkat laku prihatin yaitu tidak makan garam, dan setiap sore laku tapa bisu mengelilingi rumahnya. Selain itu, Ki Demang juga ngaloki dengan mandi setahun sekali, yaitu setiap malam menjelang tanggal 8 Sura bertempat di sumur di  beiakang rumahnya. 
Ki Demang dikenal sebagai orang yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain, dan selalu memberi hidangan makan bagi tamu yang datang ke rumahnya. Kebiasaan memberi hidangan ini, kemudian dilestarikan oleh anak cucu yang kemudian dikenal dengan tradisi pembagian kendhi ijo. Selain itu, Ki Demang juga berpesan kepada anak cucunya, "luwih becik menehi tinimbang diwenehi", "tangan kuwi becik mengkurep tinimbang mlumah", "sapa sing muwuhi bakal ditambah, lan sapa sing ngurangi bakal disuda" untuk memberikan rasa perlindungan kepada masyarakat di sekitarnya.
Upacara Suran Dusun Modinan diselenggarakan setiap tahun sekali pada tanggal 7 Sura, tepatnya saat tengah malam menjelang tanggal 8 Sura. Adapun pelaksanaan upacaranya bertempat di dusun di mana Ki Demang Cakradikrama terakhir bermukim, di Dusun Modinan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman. Di dusun itu pula sumur sebagai sumber air yang pemah dipakai mandi oleh Ki Demang Cakradikrama berada.
Pada dasarnya pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini terutama adalah kerabat keturunan Ki Demang. Biaya yang diperlukan menjadi tanggungan kerabat keturunan Ki Demang. Orang yang memimpin dan mengatur upacara adalah anggota kerabat keturunan Ki Demang yang tertua, dan dibantu oleh tetua lainnya. Sementara itu, yang menjadi peserta upacara adalah anggota kerabat keturunan lainnya, yang juga berperan untuk menjaga kelancaran jalannya upacara ini.
Peralatan dan sesaji yang diperlukan adalah sebagai berikut:
Dhaharan asrep (makanan tawar), sambal goreng asrep, jangan bening asrep, tempe goreng, klepon, apem, sambal kering, tape, pisang, kue satu, roti tawar, unjukan teh dan kopi, sekar setaman, sekar Kebuli, ramping, ager-ager, sekul pethak (nasi putih), dan perlengkapan makan: piring, sendok, wijikan, kursi-bantal, dan lampu teplok.
Peralatan dan sesaji salawatan terdiri dari:
Tumpeng megana, Tumpeng gurih, Tumpeng sumurubing damar, Tumpeng sega ungguh, Pisang raja bikakan salawatan, Tukon pasar, Sekul gurih, Ingkung ayam, Srabi, Klepon, Clorot, Bulus angrem, Tujuh macam jenang, Ketupat, Sekar setaman, Sekar loloh, Dawet, dan Arang-arang kamban.
Tiga hari sebelum puncak acara Suran Dusun Modinan, di rumah peninggalan Ki Demang Cakradikrama telah mulai dilakukan persiapan. Kegiatan yang dilakukan oleh kerabat keturunan Ki Demang Cakradikrama pada tahap persiapan ini mencakup:
- Membersihkan bangunan-bangunan peninggalan Ki Demang seperti sumur, kamar mandi, dan rumah Ki Demang. Selain itu juga membersihkan makam Ki Demang dan Nyi Demang yang terletak di Dusun Guyangan, membersihkan cungkup (rumah-rumahan) makam pusaka peninggalan Ki demang yang ada di sisi Barat sumur.
- Memperbaiki bangunan-bangunan peninggalan Ki Demang yang rusak, seperti tembok sumur, tembok kamar mandi, dan rumah Ki Demang. Selain itu juga cungkup makam Ki dan Nyi Demang serta cungkup makam pusaka Ki Demang.
Pada pagi hari sebelum puncak acara yaitu ada tanggal 7 Sura, di rumah bekas kediaman Ki Demang telah dimulai dengan persiapan pembuatan sesaji, yaitu sesaji Suran Kademangan dan sesaji salawatan. Disamping itu, juga dibuat kendhi ijo yang berupa nasi putih yang dilengkapi dengan lauk pauk dari kelan (sayur) tholo dan gudhangan bumbu tumbuk kemudian dibungkus dengan daun pisang. Bungkusan ini bentuknya mirip dengan kendhi yang berwama hijau, maka disebut "kendhi ijo". Kendhi ijo ini pada siang harinya akan dibagikan kepada warga masyarakat di sekitar tempat upacara.
Pada sore hari kamar mandi yang akan dipakai untuk upacara siraman atau padusan diisi dengan air dan sumur peninggalan Ki Demang Cakradikrama. Setelah bak mandi penuh, maka air dalam bak mandi tersebut ditaburi atau diberi bunga mawar. Setelah selesai kemudian kamar mandi ditutup pintunya dan akan dibuka saat pelaksanaan siraman atau padusan pada saat puncak upacara.
Pada siang hari tanggal 7 Sura sekitar pukul 12.00 WIB dilaksanakan pembagian kendhi ijo kepada warga masyarakat di sekitar tempat upacara. Pembagian kendhi ijo ini dimaksudkan sebagai bentuk refleksi diri dan kebiasaan yang pemah dilakukan oleh Ki Demang pada semasa hidupnya. yaitu selalu memberi hidangan makan kepada orang yang datang ke rumahnya.
Kebiasaan ini oleh anak cucunya masih dilaksanakan hingga sekarang pada Upacara Suran. Pada sore harinya dilaksanakan ziarah (nyekar) ke cungkup peninggalan Ki Demang (tempat penguburan pusaka milik Ki Demang). Kegiatan nyekar ke cungkup ini diawali dengan doa dan membakar kemenyan yang dilakukan oleh salah seorang kerabat dan trah Ki Demang Cakradikrama, kemudian dilanjutkan dengan ziarah dan nyekar di makam Ki Demang dan Nyi Demang yang terletak di makam Dusun Guyangan.
Sekitar pukul 21.00 WIB, dimulai upacara Suran Dusun Modinan. Upacara terdiri dari pembacaan salawatan sampai menjelang pagi. Pada sekitar tengah malam salawatan mencapai saat sakral (srokal), dilaksanakan mandi di tempat yang dahulu pernah dipakai Ki Demang. Upacara mandi ini dilakukan oleh seorang keturunan tertua dari Ki Demang, kemudian diikuti oleh seluruh anggota trah dan dilanjutkan dengan warga masyarakat umum yang ingin ngalap berkah dengan ikut mandi.
Pantangan yang berkaitan dengan upacara Suran Dusun Modinan:
a. Upacara Suran Dusun Modinan setiap tahun harus dilaksanakan, sebab kalau tidak dilaksanakan maka trah Demang Cakradikrama percaya bahwa nantinya akan mendapatkan musibah atau malapetaka.
b. Pihak yang melaksanakan upacara mandi pada saat puncak upacara harus dari keturunan langsung tertua dari Ki Demang yang masih hidup.

Memaknai Ritual Budaya (Saparan Bekakak)


Seorang tokoh masyarakat setempat memotong Bekakak di area pasanggrahan Gunung Gamping, Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, tempat diadakannya upacara adat Saparan Bekakak, Jumat (13/01). Upacara adat Saparan Bekakak merupakan sebuah ritual guna memperingati kesetiaan abdi dhalem Kraton Yogyakarta, Ki Wirosuto serta meminta keselamatan bagi penduduk agar terhindar dari malapetaka yang diwujudkan dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) bernama Tirto Dono Jati dan Nyi Tirto Mayangsari yang terbuat dari campuran tepung beras ketan. rez/12 Ritual Upacara adat Saparan Bekakak adalah sebuah ritual budaya Jawa asli dari Yogyakarta yang diselenggarakan tiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa atau safar dalam kalender islam. Siang itu seusai shalat Jumat, ratusan warga berkumpul untuk bersiap menyaksikan ritual tahunan ini yang  berlangsung dari Balai Desa Ambarketawang, dan diakhiri di pasanggrahan Gunung Gamping, Sleman, Yogyakarta, dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari beras ketan. Menurut mitos Jawa kuno, dahulu bulan Sapar dianggap sebagai bulan sial dimana seringkali terjadi sejumlah musibah atau kecelakaan. Kepercayaan ini mendorong masyarakat Jawa untuk tidak menyelenggarakan berbagai hajatan seperti pernikahan terutama pada hari rabu terakhir di bulan ini. Hingga saat ini, masyarakat Jawa di sekitaran kawasan Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, dimana lokasi ini merupakan tempat didirikannya Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya, masih melaksanakan ritual Saparan dengan maksut sebagai wujud doa Pada Yang Maha Kuasa agar dihindarkan dari mara bahaya. Otomatis, ritual adat ini memiliki latar belakang sejarah yang berasal dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dikisahkan bahwa ada sepasang suami-istri yang merupakan abdi dhalem setia Kraton pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) bernama Kyai Wirasuta dan Nyi Wirasuta. Sebagai Kanjeng Sinuhun yang pertama, Sultan Hamengku Buwono I bermaksud emndirikan sebuah istana (Kraton) sebagai kediaman kerajaannya. Sembari menunggu pembangunan selesai, Sultan memilih beristirahat sejenak di sebuah pasanggrahan yang terletak di Desa Ambarketawang yang pada waktu itu sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian dengan menambang batu gamping. Setelah selesainya Kraton dibangun, Sultan beserta para abdi dhalem hendak kembali ke Kraton namun tidak dengan kedua abdi dhalem tadi. Kyai dan Nyi Wirasuta memilih untuk menetap di pasanggrahan bekas tempat singgah Sultan pertama tersebut. Malapetaka tak diduga terjadi, pada Jumat Kliwon bulan Sapar, Gunung Gamping runtuh dan menewaskan kedua abdi dhalem tersebut. Anehnya, jasad mereka tidak ditemukan hingga sekarang. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Ambarketawang, Gamping diresahkan dengan musibah serupa yang terjadi tiap bulan Sapar. Masyarakat setempat meyakini arwah Kyai dan Nyi Wirasuta masih menempati Gunung Gamping. Mengetahui keresahan tersebut, Sri Sultan bertitah pada masyarkat Ambarketawang agar tiap bulan Sapar mengadakan upacara selamatan dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari campuran beras ketan yang dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyi Wirasuta serta warga lain yang tertimpa musibah longsornya Gunung Gamping agar tidak terjadi bencana serupa di wilayah ini. Ketua Panitia Saparan Bekakak, Frans Haryono mengatakan bahwa Perayaan kirab budaya tak sebatas seremonial tahunan, di balik setiap perayaan ada edukasi kultural yang selalu ingin digelorakan. "Intinya tradisi Saparan Bekakak adalah peringatan terhadap kesetiaan seorang abdi dhalem pada rajanya," ujar beliau sesaat setelah selesainya upacara Bekakak dilaksanakan. Ritual adat ini berlangsung terus menerus hingga sekarang dengan tidak mengurangi nilai dan makna dari tiap prosesinya. Ritual Saparan Bekakak yang dahulu sebagai wujud tolak bala masyarakat Jawa saat ini telah terintegrasi pada mitos sejarah dan legenda lokal yang tetap diuri-uri secara konsisten oleh masyarakat setempat lebih dari sebuah ritual budaya, namun sebagai komoditi bagi daya tarik wisata lokal maupun manca Negara.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rezafitriyanto/memaknai-ritual-budaya-saparan-bekakak-legenda-kisah-pengabdian-kyai-wirasuta-di-gunung-gamping_550d41dda333119f1e2e3c7a